Selasa, 22 Juli 2008

kurikulum mengajar sma

Panduan Mengajar

Pengantar Ekonomi Islam

Sebagai Pra Syarat Sertifikasi KBC

Batasan Ekonomi Syariah:

1. Suatu system ekonomi yang dilandasi oleh hukum-hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an (kitab Suci), as-sunnah (Teladan Rasululullah Muhammad SAW), ijma’ (kesepakatan ulama) dan).

2. Sistem ekonomi yang menghantarkan umat manusia kepada real welfare-falah/ kesejahteraan yang qiyas (analogi hakiki, meliputi kebutuhan fisik/ jasadiyah dan kebutuhan ruhaniah/ketenteraman jiwa melalui pengelolaan sumber daya dengan ciri-ciri:

a. Kaya dan Takwa (Hadits): Allah mencintai hamba yang kaya dan taqwa.

b. Alokasi/ distribusi sumber daya dan produksi sesuai peruntukan dan urgensinya/ Tidak ada konsentrasi kepemilikan (QS Al-Hasyr 7).

c. Kesahajaan dalam konsumsi, tidak menuruti hawa nafsu (QS Al-A’raf 31).

d. Proteksi sosial melalui zakat, infaq dan shadaqah (QS Ar-rum 39, dan Qs Al-Baqarah 261).

e. Jalinan moral masyarakat yang kokoh sesuai dengan nilai/ etika Islam (QS Al-Hujarat 9–11).

f. Keseimbangan makro ekonomi dan ekologi (Qs Ar-Rum: 41).

g. Kebebasan individu yang bertanggung jawab (QS. Al-Fushilat 40).

h. Menghindari mala petaka, a.l: ketidakseimbangan moneter dengan sektor riel, negative spread di perbankan, usaha/proyek maksiat yng mendatangkan kemurkaan (mis: tsunami di Aceh).

Sistem ekonomi syariah ditujukan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan sejahtera yang merupakan keinginan dasar manusia dalam ikatan kejamaahan serta Memastikan seluruh aktivitas ekonomi manusia berada dalam keberkahan/keridhaan Allah SWT.

Asumsi Dasar Ekonomi Syariah

1. Kebutuhan (Need) ≠ keinginan (Want) ≠ syahwat (Desire)

2. Sebenarnya sumber daya tidak terbatas (Allah memberikan nikmat/rizki yang diminta manusia tanpa batas. Manusia tidak mampu menghitung kenikmatan yang diberikan, QS Ibrahim 34, Kecukupannya terjamin bila dimanfaatkan secara berbudaya QS Ar-Rum: 41).

Renungkan! Sudah saatnyakah paradigma ilmu ekonomi kita tukar (kapitalis vs syariah).

3. Kemiskinan = resultante dari sistem.

Tidak ada orang yang ingin miskin, Kemiskinan disebabkan kelemahan sistem yang diterapkan negara.

Penerapan Ekonomi Syariah sebagai ilmu dan sistem, tidak didasarkan apologetik kegagalan sistem ekonomi kapitalis (tidak adil/memunculkan krisis ekonomi). Kehadirannya diperlukan untuk memenuhi tuntutan kesempurnaan Islam.

Pengantar Ekonomi Islam

Karakteristik Perekonomian Islam

“Orang2 yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang2-an, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang2 yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang2 yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan), dan urusannya (terserah) Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang2 yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang2 yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu)dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing2 diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al Baqarah: 274-281)

A. Pendahuluan

Definisi yang menyebutkan ekonomi adalah segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan faktor2 produksi yang terbatas. Dari definisi ini ada dua makna yang dapat kita simpulkan; pertama, definisi ini menyiratkan tingkah laku manusia tersebut terfokus sebagi tingkah laku yang bersifat individualistis. Kedua, bahwa tingkah laku manusia itu bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas.

Definisi ini berkembang dari pemahaman motif2 ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi konvensional. F.Y. Edgworth (1881) merupakan tokoh utama yang mengemukakan motif self interest (egoism dan utilitarianism) dari prilaku ekonomi manusia[1]. Namun hal ini juga sebenarnya sudah dijelaskan secara garis besar oleh Herbert Spencer (1879) dan Henry Sidgwick (1874)[2]. Dari diskusi intelektual mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth memiliki alasan kuat bahwa hanya egoismelah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi prilaku manusia (egoistic behaviour). Alasan ini juga yang menjawab hipotesa2 yang dikemukakan Herbert Spencer dalam menganalisa hubungan antara egoisme dan altruisme. Landasan nilai egoisme ini menurut A.K. Sen kemudian menjadi motif ekonomi menggunakan pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan rasional ini sebenarnya menunjukkan konsistensi internal dari seorang individu dalam berprilaku. Dan dengan landasan inilah kemudian secara substansi ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan.

Sementara itu dalam Islam tidak mengenyampingkan unsur2 ego yang timbul dari dalam diri manusia, namun sebelumnya ada keyakinan dan pemahaman bahwa hidup ini adalah ibadah (kepatuhan kepada Tuhan), hidup ini hanyalah sementara (keyakinan pada kehidupan setelah mati), dan tujuan hidup adalah kebaikan akhirat.

Maka prilaku hidup manusia pun sepatutnya merujuk pada keyakinan tadi dengan mematuhi “prasyarat-prasyarat” moral maupun fisik dari keyakinan itu. Dengan begitu prilaku tidak lagi didominasi oleh ego. Manusia Islam berkeyakinan bahwa melaksanakan kewajiban2 asasinya (meminjam istilah “kewajiban asasi”-nya Emha Ainun Najib) sebagai hamba Allah SWT dan sebagai makhluk sosial akan secara otomatis memenuhi hak-hak asasinya sebagai seorang individu. Sedangkan nilai yang terbangun dalam system konvensional justru sebaliknya, dimana nilai dasar kepentingan individulah (hak asasi) yang menjadi focus utama.

Jadi dapat disimpulkan definisi ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah. Prilaku manusia disini berkaitan dengan landasan2 syariat sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan2 dari fitrah manusia. Dan dalam ekonomi Islam, kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing2 hingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan dasar2 nilai Ilahiyah.

Dengan demikian keyakinan bahwa Tuhanlah yang mengetahui kecenderungan atau karakteristik manusia (karena memang Tuhan yang menciptakan manusia), maka system Tuhanlah yang kemudian menjadi pilihan untuk diterapkan.

Jadi parameter dari keyakinan ini adalah kepatuhan pada Tuhan (Allah SWT), dan Dialah yang menjadi titik sentral dari segala prilaku manusia. Secara otomatis nilai-nilai akidah ini kemudian menjelma menjadi prilaku (akhlak) pada manusia yang meyakininya (beriman). Semakin besar keyakinan (keimanan) manusia semakin konsisten prilakunya berlandaskan nilai2 Islam (berbeda secara substansi dengan definisi konsistensi internal yang dikemukakan Edgworth). Dengan begitu tingkat keimanan atau keyakinan dapat menjadi asumsi dalam menjelaskan fenomena kehidupan yang bersumber dari prilaku manusia.

Prinsip2 dasar Islam tidak hanya terfokus pada kepentingan individu tapi juga kepentingan bersama, dan bahkan lebih berat pada kepentingan bersama, sebagaimana yang didefinisikan oleh Al Qur’an[3] tentang empat kriteria manusia yang tidak akan masuk dalam system kerugian; yaitu, manusia yang beriman, manusia yang beramal shaleh, manusia yang saling menasehati dalam kebenaran dan manusia yang saling menasehati dalam kesabaran. Tiga syarat terakhir dari empat syarat tadi mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa kepentingan bersama harus menjadi perhatian.

Dengan sendirinya Islam menempatkan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama dalam bertindak pada segala sisi kehidupannya, berikut system dan perangkat2-nya yang akan dibangun sebagai fasilitas kehidupan manusia. Jadi Al Qur’an dan As Sunnah tidak hanya menjadi sumber aturan dan prinsip aktifitas tapi juga sebagai inspirasi perilaku manusia yang kemudian menjalankan aturan dan prinsip tersebut. Dan bahkan manusia dengan hati dan akalnya dapat memperkuat aturan dan prinsip tadi (Ijma, Qiyas dan Ijtihad).

Ada perbedaan yang mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dari pondasi dasar yang telah dijelaskan, yang pertama adalah sumber landasan nilai itu muncul. M.N. Siddiqi[4] mengemukakan perbedaan ini dengan berpendapat bahwa sumber utama dari prilaku dan infrastruktur berupa institusi ekonomi Islam adalah Alqur’an dan As Sunnah. Pengetahuan itu bukan buah fikiran pakar ekonomi Islam, tapi ide langsung dari Tuhan. Sementara itu sumber pengetahuan dari prilaku dan institusi ekonomi konvensional adalah intelegensi dan intuisi akal manusia melalui studi empiris. Perbedaan kedua, tentu saja terletak pada motif prilaku itu sendiri. Ekonomi Islam dibangun dan dikembangkan di atas nilai altruisme, sedangkan ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai egoisme.

Sementara pihak tetap berpendapat bahwa eksistensi ekonomi konvensional masih tetap kokoh dari perspektif landasan nilai ini. Pihak tersebut berargumen bahwa ekonomi konvensional adalah system yang bebas nilai, sehingga dapat menjadi alat dalam menjelaskan fenomena ekonomi secara umum. Dari argumen ini sebenarnya memiliki pertanyaan besar, bagaiman ekonomi konvensional dapat menjadi system yang bebas nilai jika ia dibangun dari sebuah warna nilai tertentu yang jelas.

Hal ini sebenarnya yang kemudian menjadi sebab ekonomi konvensional gagal dalam menganalisa dan memberikan solusi dari permasalahan ekonomi.

B. Prinsip2 Ekonomi Islam

Dari banyak prinsip2 ekonomi Islam yang disebutkan oleh beberapa pakar ekonomi Islam, dapat disimpulkan ada empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam Al Qur’an:

1. Hidup hemat dan tidak ber-mewah2 (abstain from wasteful and luxurius living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan memuaskan keinginan (wants).[5]

2. Implementasi Zakat (implementation of zakat); pada tingkat negara mekanisme zakat adalah obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Disamping itu ada juga instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.[6]

3. Penghapusan/pelarangan Riba (prohibition of riba), Gharar dan Maisir; menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen mudharabah dan musharakah sebagai pengganti system kredit (credit system) berikut instrumen bunganya (interest rate) dan membersihkan ekonomi dari segala prilaku buruk yang merusak system, seperti prilaku menipu dan judi.[7]

4. Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct); dari produk atau komoditi, manajemen, proses produksi hingga proses sirkulasi atau distribusi haruslah ada dalam kerangka halal. Usaha-usaha tadi tidak boleh bersentuhan dengan judi (maisir) dan spekulasi atau tindakan-tidakan lainnya yang dilarang secara syariah.[8] Meskipun begitu ada kaidah hukum (fikih) dalam Islam yang cukup menjadi rujukan dalam beraktifitas ekonomi, yaitu pada dasarnya aktifitas apapun hukumnya boleh sampai ada dalil yang melarang aktifitas itu secara syariah.

Keempat prinsip utama ini tentu bukan hanya memberi batasan-batasan moral saja dalam aktifitas dan system ekonomi Islam, tetapi juga memiliki konsekuensi2 yang menciptakan bangunan ekonomi Islam begitu signifikan perbedaannya dibandingkan system ekonomi konvensional.

Konsekwensi yang jelas sekali misalnya adalah eksistensi lembaga Baitul Mal sebagai respon langsung dari ketentuan implementasi system zakat dalam kebijakan fiscal negara. Atau dominasi konsep bagi hasil dalam dunia keuangan dan investasi sebagai konsekwensi pelarangan bunga (riba).

Prinsip2 ini utamanya dimaksudkan agar segala aktifitas manusia betul2 dapat mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kemenangan dunia-akherat (falah), sesuai dengan visi system ekonomi Islam itu sendiri. Prinsip2 ini menjadi tuntunan garis besar dari prilaku individual dan juga kolektif. Namun keberhasilannya tentu saja bukan hanya bergantung pada kedisiplinan implementasi dari prinsip ini saja tapi juga harus didukung oleh usaha2 dalam kerangka system Islam diluar aktifitas ekonomi, seperti hokum, politik budaya dan lain sebagainya.

C. Harta

Merujuk dari definisi ilmu ekonomi baik konsep Islam maupun konvensional, tergambar dengan jelas bahwa harta menjadi objek utama dalam pembahasan ilmu ekonomi. Dan Islam sudah begitu jelas memposisikan harta dalam kehidupan manusia, seperti yang Allah SWT firmankan dalam ayat di bawah ini.

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…” (An Nisaa: 5)

Fungsi harta sebagai pokok kehidupan memiliki pengaruh pada prilaku manusia dalam produksi dan konsumsi dari harta yang mereka punya. Pokok kehidupan disini bukan hanya menjaga berlangsungnya kehidupan si pemilik harta tapi juga bermakna bahwa harta yang dimiliki itu dapat menjamin berlangsungnya kehidupan secara luas (kehidupan manusia selain pemilik harta tersebut).

Karena peran manusia dalam Islam bukan hanya terfokus pada dia secara pribadi tapi juga pada lingkungannya, yaitu pada interaksi manusia dengan manusia lain.

Dalam Islam memang diyakini bahwa Allah SWT memberikan harta (rizki-Nya) pada seluruh umat manusia tidak merata. Ada yang mendapatkan harta melebihi kebutuhan hidupnya dan ada yang sedikit dibawah jumlah kebutuhan mereka, sehingga diperlukan interaksi dalam distribusi harta tadi.

Jadi dari kacamata kolektifitas masalah kelangkaan yang diklaim oleh konvensional sebagai masalah utama ekonomi, tidak begitu relevan lagi. Karena dengan ketentuan kolektifitas yang dimiliki system ekonomi Islam kelangkaan menjadi bukan masalah lagi. Hal ini diperkuat dengan Kalimat Allah :

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta).” (Adz Dzariyaat: 19)

Dengan demikian yang menjadi masalah utama dalam ekonomi berdasarkan perspektif Islam terletak pada penyikapan harta itu sendiri. Penyikapan yang hendaknya mencerminkan bukan hanya kepentingan pribadi tapi juga kepentingan kolektif .

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah apa saja harta (khair) yang kamu nafkahkan, hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan…” (Al Baqarah: 15)

Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan dalam bukunya bahwa harta memiliki definisi sebagai kebaikan, perhiasan hidup dan pokok kehidupan bagi manusia[9]. Pertama harta merupakan kebaikan yang begitu dicintai oleh manusia. Hartalah yang dapat secara harfiah menjauhkan manusia dari kondisi kefakiran, yang secara tak langsung memastikan potensi manusia untuk jauh dari kecenderungan segala aktifitas kufur. Meskipun tetap terbuka potensi untuk melalaikan manusia, akibat kecintaan yang begitu besar pada harta, yang pada akhirnya membuat manusia khilaf dalam penyikapan terhadap harta tersebut.

“Dan sesungguhnya kecintaan kepada kebaikan (harta) manusia itu amat sangat”. (Al Aadiyaat: 8)

Untuk itulah Rasulullah SAW memeberikan tuntunannya kepada manusia bagaimana menyikapi harta dalam hidup dan kehidupan mereka. Rasulullah SAW menjelaskan apa yang menjadi kehendak Allah SWT atas manusia dalam penyikapan harta ini. Beliau juga tidak kemudian memberikan kebebasan yang mutlak bagi manusia dalam berinteraksi dengan harta, atau sebaliknya begitu memenjara manusia dari kefitrahan cinta akan harta. Tapi Rasululah memberikan kondisi2 yang kemudian mampu menjaga manusia dari segala godaan (kecenderungan) negatif akibat okupasi harta yang sangat bebas atau akibat tak memilikinya. Sabda Beliau:

“Wahai Amr, sebaik-baik harta yang shalih adalah milik orang shalih.” (HR Ahmad)

Rasulullah memberikan asumsi2 yang wajar dalam berinteraksi dengan harta, hal ini sebenarnya ditujukan pada keselamatan manusia itu sendiri dalam kehidupannya, khususnya dalam aktifitas ekonominya. Beliau juga menunjukkan keutamaan2 manusia yang memiliki harta. Bahwa manusia yang berharta pada dasarnya memiliki potensi beramal shalih lebih banyak dari mereka yang tidak.

“Orang-orang kaya telah meraih pahala (yang banyak)…” (HR Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, adalah jauh lebih baik daripada meninggalkannya dalam keadaan miskin, kemudian menjadi beban (meminta-minta) kepada orang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks ekonomi dapat disimpulkan bahwa harta merupakan alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya dalam kehidupan untuk mendapatkan kesejahteraan, kedamaian dan kemenangan dunia dan akhirat (falah). Ia menjadi variable sentral dalam aktifitas ekonomi manusia. Dalam bentuk apapun harta menjadi benda yang kemudian membutuhkan penyikapan yang bijaksana, dalam hal ini membutuhkan penyikapan yang bersumber dari aturan dan prinsip2 ilahiyah.

Dalil2 diatas, jelas sekali terlihat bahwa interaksi manusia dengan harta hendaknya ada dalam kerangka keshalihan atau keimanan. Baik manusianya sebagai subjek maupun bentuk2 penyikapan (muammalah) manusia itu sendiri. Bentuk penyikapan manusia pada harta secara garis besar terdiri dari tiga, yaitu aktifitas mencari harta, mengelola harta dan membelanjakan harta. Dari penyikapan tersebut akan memiliki implikasi pada harta, yaitu implikasi berupa pengembangan harta, pertukaran harta dan pendistribusian harta. Lihat gambar 4.

Gambar 4.

Karakteristik Berdasarkan Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam










PEMENUHAN KEBUTUHAN MENUJU FALAH


PENYIKAPAN TERHADAP HARTA









C.1. Mencari Harta

Motif utama dan yang pertama dari manusia dalam mencari harta adalah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mencari harta dapat dilakukan dengan cara berproduksi atau melakukan aktifitas perdagangan (jual-beli). Jadi segala aktifitas ekonomi pencarian harta diawali dengan niat untuk diri sendiri. Ketika usaha pemenuhan yang bersifat individual itu cukup, maka motif kemudian berkembang menjadi motif yang bersifat kolektif (altruism).

Namun sebelum aktifitas pencarian itu dilakukan, Islam menghendaki nuansa motif dari dalam diri manusia hendaknya diawali oleh rasa keterikatan pada Allah SWT. Bahwa ketika kebutuhan diri manusia itu terpenuhi sehingga terhindarlah manusia dari kondisi lemah, yang menghambat fungsi dia sebagai hamba Allah, maka manusia dapat menyebarkan kelapangan tersebut pada manusia diluar dirinya yang tujuannya adalah sama, yaitu menciptakan kondisi penghambaan (yang kini lebih bersifat kolektif).

Ada sebuah etika Islam yang menjadi rujukan manusia dalam beraktifitas, khususnya aktifitas ekonomi, agar segala yang dilakukan tidak keluar dari norma2 Islam. Etika itu menyebutkan bahwa segala perbuatan hendaknya diniatkan (motif) karena Allah SWT, dilakukan dengan cara-cara Allah SWT (cara yang halal lagi baik), dan ditujukan hanya untuk Allah SWT (tidak lepas dari konsep ibadah, yaitu mencari ridha Allah SWT).

Maka aktifitas mencari harta harus dilakukan dengan cara2 yang dibolehkan oleh Islam.

“Dia-lah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari sebagian rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali setelah dibangkitkan.” (Al Mulk : 15)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…” (Al Baqarah : 168)

Dalam mencari harta Islam mengungkapkan bahwa aktifitas jual beli merupakan aktifitas utama yang dapat dilakukan. Bagi mereka yang telah memiliki sejumlah harta, mereka dapat mencari harta dengan menginvestasikan hartanya. Sementara bagi mereka yang tidak memiliki akses pada kedua aktifitas pencarian harta tadi, negara akan memberikan jalan, baik dengan langsung memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan minimal mereka, ataupun dengan memberikan kesempatan untuk dapat mengakses dua aktifitas tadi.

Gambar 4 menjelaskan bahwa dalam Islam, memperoleh harta dapat dilakukan atau bisa didapatkan melalui berbagai aktifitas ekonomi. Mencari harta dapat dilakukan melalui aktifitas jual-beli, investasi, atau jika pelaku ekonomi tidak memiliki akses pada kedua aktifitas tadi, maka ia dapat memperoleh melalui instrumen lain yang ada dalam mekanisme ekonomi Islam, seperti melalui zakat, infaq, sadaqah, hibah dan lain sebagainya.

C.2. Mengelola Harta

Mengelola harta di sini maksudnya adalah bagaimana manusia menyikapi harta yang telah ada di tangannya. Jadi ketika harta telah didapatkan, manusiapun kemudian dituntut untuk bersikap bijaksana dalam mengelola harta tersebut. Islam juga memberikan tuntunan bagaimana mengelola agar harta tersebut memberikan kemashlahatan bagi pemilik dan manusia lainnya. Pengelolaan harta dalam Islam dilakukan juga dalam rangka menjauhkan diri manusia dari kondisi kefakiran. Karena kondisi tersebut akan meningkatkan potensi mereka untuk berbuat hal-hal yang tidak diterima oleh Islam (kufur).

Disamping itu pengelolaan yang baik berdasarkan Islam juga memiliki efek pada tingkat social yang memperhatikan kepentingan umum (mashlahat). Aktifitas pengelolaan harta tentu saja mempertimbangkan factor2 social yang menjadi parameter prioritas keputusannya, misalnya kemana harta tersebut diinvestasikan, bidang apa, membantu masyarakat mana dan sebagainya.

Dengan demikian pengelolaan harta dalam Islam dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal:

1. Kemashlahatan masyarakat secara luas, artinya harta menjadi media agar manusia dapat memperoleh semaksimal mungkin kemuliaan di sisi Allah SWT dengan memberikan manfaat kepada dirinya secara pribadi maupun kepada orang lain yang membutuhkan.

2. Cara2 yang dibenarkan secara syariah / Islam. Sehingga pengelolaannya terus berada dalam rangkaian kerja syariat yang terjaga manfaatnya untuk menyebar bagi kemashlahatan ummat.

3. Harta tidak menjadi tumpuan perhatian, artinya konsentrasi bukanlah kemudian dihabiskan hanya untuk pengelolaan harta tapi pada pendistribusian manfaat dari harta tersebut.

Dalam prakteknya hal yang dapat dilakukan dalam mengelola harta, seperti yang telah disebutkan, adalah beraktifitas jual beli, investasi dan menyimpan. Dengan jual beli dan investasi seseorang dapat mengembangkan hartanya, memberikan kesempatan pada manusia lain untuk dapat mendapat manfaat dari hartanya.

C.3. Membelanjakan Harta

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, seorang manusia ketika telah memiliki harta atau kemampuan, maka yang dilakukan kemudian adalah mencari kebutuhannya itu. Dalam konteks aktifitas ekonomi modern, manusia tadi membelanjakan sebagian harta yang dimilikinya baik yang bersumber dari pendapatan regulernya maupun yang berasal dari simpanannya, untuk mendapatkan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Tentu saja aktifitas membelanjakan harta ini tidak lepas dari konsep ibadah, seperti yang disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 261)

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (Al Baqarah: 265)

Dalam membelanjakan harta ini, seorang individu hendaknya ada dalam batas-batas yang dianjurkan oleh syariah, misalnya berhemat dan tidak bermewah-mewah seperti yang disebutkan dalam prinsip ekonomi Islam. Namun sebaliknya seorang individu handaknya juga tidak kikir atas harta yang dimilikinya. Artinya bisa saja manusia itu berhati-hati dalam berkonsumsi (hemat dan tidak bermewah-mewah) tapi hendaknya giat dalam membelanjakan hartanya pada hal-hal yang sifatnya social demi kepentingan (kemashlahatan) masyarakat secara luas.

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Al Isra: 29)

Konsekwensi dari aktifitas ini semua adalah terjadinya pertukaran barang (melalui aktifitas jual-beli) diantara manusia2 yang melakukan aktifitas ekonomi. Atau terjadi pelimpahan harta pada manusia lain (melalui aktifitas sosial) agar harta memberikan manfaat secara luas.

Inti ekonomi dalam Islam adalah terjaminnya perputaran barang atau harta diantara manusia, hingga setiap manusia memiliki akses terhadap sumber2 kehidupan dan tidak megagganggu tugas utama mereka dalam beribadah kepada Allah SWT.

Dalam analisa makro ekonomi, kegiatan belanja (konsumsi) merupakan variabel yang sangat positif bagi kinerja perekonomian (economic growth). Ketika perekonomian mengalami stagnasi, seperti terjadi penurunan tingkat konsumsi atau bahkan sampai pada situasi under-consumption, kebijakan utama yang diambil adalah bagaimana dapat menggerakkan ekonomi dengan meningkatkan daya beli masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan beli masyarakat menjadi sasaran utama dari setiap kebijakan ekonomi.

Perbedaan perekonomian Islam dengan konvensional dalam hal ini adalah wujudnya instrumen yang bersifat social dalam Islam, yang dapat meningkatkan kemampuan beli masyarakat (khususnya mereka yang tidak memiliki akses ekonomi), seperti zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf. Oleh Faridi (1995)[10] mekanisme social ini disebut sebagai sector sukarela (voluntary sector) atau sector ketiga melengkapi sector yang telah ada (monetary dan real sector).

Yususf Qardhawy (1995)[11] mengklasifikasikan batasan pembelanjaan harta dalam Islam menjadi dua macam, yaitu batasan pada cara dan sifat serta batasan pada kuantitas dan ukuran. Batasan yang pertama adalah batasan terhadap barang yang memang haram dalam Islam untuk dikonsumsi, berapapun kuantitasnya dan apapun jenisnya, seperti khamar, judi dan patung. Sedangkan batasan yang kedua adalah batasan belanja yang bersifat pemborosan dan bermewah-mewah.

D. Motif

Sejalan dengan pemahaman Islam sebagai konsep hidup yang menghantarkan manusia pada kesejahteraan dan kedamaian akhirat, maka motif utama aktivitas ekonomi Islam tidak terlepas dari tujuan tadi. Sehingga segala kegiatan hidup termasuk aktivitas ekonomi bermotifkan ibadah yang kemudian mempengaruhi segala prilaku konsumsi, produksi dan interaksi ekonomi lainnya.

Secara spesifik ada 3 (tiga) motif utama dalam prilaku ekonomi Islam,

1. Mashlahat, (motif yang paling dominan, Muhammad Akram Khan[12]) adalah parameter yang prilaku yang bernuansa altruisme (kepentingan bersama)

2. Kebutuhan, merupakan sebuah motif dasar, di samping bersifat mutlak motif kebutuhan juga merupakan sebuah nilai moral tersendiri dalam ekonomi Islam

3. Kewajiban, merupakan presentasi entitas utama motif ekonomi yaitu ibadah. Ketiga motif ini saling menguatkan dan memantapkan peran motif ibadah dalam perekonomian.

Sedangkan motif konvensional lebih didominasi oleh nilai-nilai egoisme, self interest dan rasionalisme yang materialis. Konvensional menilai bahwa egoisme merupakan nilai yang konsisten dalam memepengaruhi seluruh aktivitas manusia.[13] Sehingga egoisme lah yang menjadi titik sentral dalam analisa dan pengembangan teori ekonomi. Terlihat bagaimana egoisme menjadi ruh dalam prilaku konsumsi, produksi dan interaksi ekonomi konvensional.

Akhirnya secara sederhana konvensional lebih mempertimbangkan unsur keinginan (wants) dalam pengembangan keilmuan dan mekanisme sistem ekonomi. Sedangkan Islam lebih fokus pada kebutuhan (needs) manusia.

E. Tujuan

Salah satu perbedaan mendasar antara ekonomi konvensional dan Islam, yang mencerminkan nilai religiusitas ekonomi Islam adalah tujuan dari seluruh aktivitas ekonomi. Ekonomi Islam bertujuan mendapatkan kesejahteraan/kedamaian/kemenangan akhirat (falah) sebagai turunan dari keyakinan bahwa ada kehidupan yang abadi setelah kematian. Hal ini sejalan dengan definisi ekonomi dalam perspektif Islam, yaitu ilmu yang mempelajari prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam rangka memperoleh falah.

Keyakinan ini jugalah yang kemudian mengontrol prilaku manusia agar selalu merujuk pada Islam sebagai konsep hidup. Perpaduan keyakinan (iman) dan profesionalitas keduniaan (itqan) merupakan sebuah sinergi nilai dan kerja yang khas dalam perekonomian Islam.

Sedangkan dalam perekonomian konvensional, landasan filosofi dari tujuan aktivitas ekonomi tidak menyentuh nilai2 religiusitas.

Ia terbatas pada nilai keduniaan, itu makanya parameter dan tujuan aktivitas berekonominya cenderung materialistis. Konsep utilitas dalam prilaku konsumsi yang ditunjukkan oleh besar atau banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi dan konsep profit maximization dalam prilaku produksi menunjukkan warna materialisme dalam aktivitas ekonomi konvensional.

Ruang lingkup dari dasar pemikiran inilah yang akhirnya menjadi awal dari perbedaan antara ekonomi konvensional dan Islam dalam isu tujuan berekonomi. Dasar pemikiran ini juga yang kemudian akan berperan besar untuk membedakan mekanisme, institusi dan bangunan ekonomi di antara dua sistem ekonomi tersebut.

F. Investasi

Karakteristik perekonomian modern yang menonjol adalah eksistensi lembaga intermediasi dalam aktivitas investasi. Lembaga perbankan dan non-perbankan sebagai lembaga intermediasi investasi kini bahkan kemudian cenderung membedakan aktivitas perekonomian menjadi dua aktivitas utama, yaitu aktivitas di sektor riil dan aktivitas di sektor moneter.

Bahkan kini sektor moneter dengan sistem kredit dan instrumen bunganya memiliki dinamika yang begitu tinggi. Terlihat dari begitu besarnya volume transaksi yang merupakan hasil dari mobilisasi sistem di sektor moneter. Dan instrumen bunga saat ini telah mengikat perekonomian tidak hanya sektor moneter tapi juga riil, sedemikian rupa hingga bunga menjadi sebuah variabel yang begitu penting bagi para decision dan policy makers. Peningkatan performance di riil dan moneter tak pernah absen melibatkan variabel tingkat bunga.

Sementara itu ekonomi Islam telah mengasumsikan bahwa instrumen bunga (riba) diharamkan dalam Islam. sehingga yang menjadi alternatifnya adalah sistem bagi hasil (profit - loss sharing system). Sistem bagi hasil dengan instrumen mudharabah dan musharakah dalam perekonomian, mendukung nilai2 keadilan yang menjadi prinsip dalam perekonomian Islam. Ia sesuai dengan kefitrahan usaha yaitu kondisi untung dan kondisi rugi. Sehingga apapun hasil dalam berusaha; untung ataupun rugi, sistem bagi hasil memastikan tidak ada dua pihak yang saling sepakat berusaha, merasa dirugikan. Mereka yang bersyarikat dalam berusaha akan mendapatkanhasil sesuai dengan porsinya masing2.

G. Distribusi Kekayaan ( Arrum 38-39)

Dalam ekonomi Islam mekanisme distribusi kekayaan berkaitan erat dengan nilai moral Islam sebagai alat untuk menghantarkan manusia pada kesejahteraan akhirat. Bahwa kewajiban hamba kepada Tuhannya merupakan prioritas utama dari segala tindakan manusia menjadikan mekanisme distribusi kekayaan yang bertujuan pada pemerataan menjadi sangat urgent dalam perekonomian Islam, karena diharapkan setiap manusia dapat menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT tanpa harus dihalangi oleh hambatan yang wujud diluar kemampuannya.

Oleh sebab itulah fungsi utama dan pertama dari negara adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan minimal seluruh rakyat negara tersebut.

Berikanlah hak kerabat, fakir miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan. Yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah dan merekalah yang akan berjaya. Dan uang yang kalian berikan untuk diperbungakan sehingga mendapat tambahan dari harta orang lain, tidaklah mendapat bunga dari Allah. Tetapi yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari wajah Allah, itulah yang mendapat bunga. Mereka yang berbuat demikianlah yang beroleh pahala yang berlipat ganda.” (Ar Rum: 38-39)

Sistem bunga tidak akan menambah kekayaan sedikitpun, sedangkan zakat akan melipatgandakan kekayaan. Dalam perspektif dan logika ekonomi hal tersebut memang terbukti. Sistem bunga ternyata semakin menurunkan tingkat produktifitas dunia, terlihat dari returns dunia yang semakin menurun, meningkatnya rasio hutang dunia dan krisis2 ekonomi yang terus mengganggu pertumbuhan ekonomi, sehingga secara substansi sistem bunga memperkecil pembagian output.

Sementara itu zakat mendorong peningkatan agregat permintaan dan menjamin perekonomian berputar pada tingkat minimum sehingga pertumbuhan ekonomi bukan saja ada dalam kondisi pertumbuhan yang stabil tapi juga terdorong untuk terus meningkat.

Ekonomi konvensional selama ini menggunakan instrumen pajak dan tunjangan sebagai alat kebijakan untuk pemerataan pendapatan. Secara kongkrit ia tidak memiliki mekanisme atau instrumen yang bekerja layaknya zakat, yang distribusinya merupakan sebuah kepastian. Sedangkan pajak distribusinya tergantung pada kebijakan rezim ekonomi berupa program2 pembangunan.

H. Mekanisme Pasar

Pada dasarnya mekanisme pasar perekonomian Islam dan konvensional memiliki karakteristik yang sama yaitu mekanisme pasar bebas. Tapi yang membedakan adalah mekanisme pengawasan dalam pasar Islam. sepanjang mekanisme pasar berjalan dengan adil dan tidak mengancam terpenuhinya kebutuhan minimal seluruh rakyat, maka negara dalam hal ini otoritas ekonomi tidak akan mengintervensi pasar dalam bentuk apapun.

Tetapi jika terjadi kegagalan pasar di luar sebab2 ketidakadilan dari pelaku pasar, negara boleh melakukan intervensi sepanjang kegagalan pasar tersebut mengancam kebutuhan minimal rakyat. Dalam prakteknya peran lembaga pengawas dan regulator pasar begitu signifikan dalam perekonomian Islam. Lembaga yang berfungsi seperti ini di sebut Lembaga Hisbah.

Jadi kebebasan mekanisme pasar dalam Islam sangat diakui dan dijaga sepanjang ketentuan2 dan tujuan2 syariah dapat terlaksana dan terpelihara dengan baik. Misalnya tujuan syariah yang menyebutkan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua masyarakat dapat terpenuhi, maka sepatutnya intervensi dalam bentuk apapun dari siapapun tidak boleh dilakukan dalam menentukan pergerakan harga yang ada di pasar. Harga secara murni ditentukan penuh oleh mekanisme permintaan dan penawaran.

I. Pengawas Pasar

Salah satu karakteristik unik yang juga merupakan bentuk orisinil system ekonomi Islam, adalah eksistensi dari institusi pengawasan dan peradilan ekonomi. Terutama eksistensi lembaga pengawas pasar yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW yang di kenal dengan Al Hisbah[14]. Pelaksana lembaga ini disebut muhtasib. Memang belum banyak kajian yang dilakukan oleh para pakar ekonomi Islam pada bahasan yang satu ini, namun sumber pemikiran ekonomi klasik banyak sekali menyebutkan peran institusi ini dan urgensinya dalam mekanisme ekonomi.

Menurut Akram Khan lembaga hisbah bukan hanya mengawasi kegiatan2 pasar tapi juga menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan oleh pasar untuk memudahkan semua pelaku pasar. Fasilitas2 -nya; lahan yang memadai, transportasi, penerangan, jalan-jalan, penginapan bagi pedagang dari luar, dan semua fasilitas yang mendukung kelancaran transaksi di pasar. Islam benar2 menempatkan pasar sebagai jantung perekonomian, sehingga sedapat mungkin system ekonomi Islam melalui kebijakan2 dan institusi2 yang ada menekan semua hambatan bagi siapa saja yang ingin masuk ke pasar (free entry market). Karena memang hampir semua krisis ekonomi diakibatkan oleh anomaly atau stagnasi yang ada di pasar.

Pada system konvensional, mekanisme pengawasan ini hampir tidak penah ada dalam pembahasan2nya. Kalaupun ada secara institusi hal itu bukanlah bukan bagian dari sebuah kerangka besar bangunan ekonomi konvensional.

J. Fungsi Negara

Fungsi negara dibagi menjadi dua fungsi utama ;

1. Fungsi yang bersifat geografi adalah fungsi negara yang memastikan terpelihara dan berkembangnya negara secara geografis, seperti fungsi pertahanan (deffence).

2. Fungsi yang bersifat idiologi adalah fungsi negara yang memastikan terpeliharanya nilai-nilai ketauhidan dan keimanan warga negara serta usaha2 peningkatannya. Fungsi ini terlaksana pada dua jenis usaha, yaitu fungsi negara pada sisi social-moral dan pada sisi ekonomi.

Dalam perekonomian Islam negara memiliki fungsi ekonomi utama, yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal rakyat.

Sumbernya berasal dari zakat, jika zakat tidak mencukupi maka dapat di ambil dari harta fay’, jika tidak cukup juga maka negara dapat melakukan kebijakan pajak bagi golongan rakyat kaya hingga kebutuhan minimal rakyat terpenuhi.[15]

Fungsi yang mengikat seperti ini tidak ada dalam konvensional. Walaupun pada negara2 kaya tertentu bentukan pemenuhan kebutuhan minimal dilakukan melalui kebijakan tunjangan, tapi karakteristik yang mengikat tidak dimiliki oleh kebijakan tunjangan tersebut. Jika anggaran pemerintah berkurang, boleh jadi tunjangan tersebut menjadi hilang.

Tugas utama kedua dari negara dalam dalam fungsinya pada sisi sosio-moral adalah menjamin pendidikan dan pembinaan yang berkaitan erat dengan tingkat keimanan secara kolektif di dalam sebuah negara. Karena kemajuan ekonomi tak akan menjadi parameter kesejahteraan sebuah negara, kepatuhan kepada Allah SWT secara kolektiflah yang kemudian menjadi ukuran keberhasilan sebuah negara. Sehingga negara harus membangun dan menjaga hal tersebut dengan melakukan program pendidikan dan pembinaan.

K. Bangunan Ekonomi

Pelarangan instrumen bunga (riba) memiliki implikasi yang sangat signifikan pada corak aktivitas dan bangunan ekonomi Islam. Seperti yang telah dijelaskan dalam sub-topik investasi bahwa implikasi dari pelarangan bunga adalah terfokusnya corak aktivitas dan bangunan ekonomi Islam pada aktivitas ekonomi produktif (riil). Seperti yang telah diketahui, berdasarkan jenis aktifitas atau transaksi ekonominya, bangunan ekonomi modern dibagi menjadi dua sector utama, yaitu sector riil dan moneter.

Dengan kata lain tidak ada dikotomi sektoral yang sejajar (riil dan moneter) dalam perekonomian Islam seperti apa yang ada dalam perekonomian konvensional. Hal ini juga tergambar dari eksistensi institusi2 eonomi beserta fungsi2-nya yang khas yang dimiliki oleh perekonomian Islam.

Kalaupun diakui sector moneter dalam Islam mungkin itu hanya sebatas aktifitas investasi yang memang menggambarkan arus uang dalam perekonomian, atau menerangkan peran negara dalam mengontrol mekanisme keuangan dalam perekonomian, seperti pengawasan uang beredar.

Faridi (1995)[16] menambahkan bahwa dalam bangunan ekonomi Islam aktifitas social begitu signifikan terlihat perannya dalam mekanisme perekonomian.

Faridi mengklasifikasikan aktifitas ini dalam sector sukarela (voluntary sector) atau lebih dikenal dengan sector ketiga (third sector), yang menggenapkan dua sektor yang telah ada yang wujud berdasarkan pelaku atau subjek ekonominya, yaitu sector publik (negara) dan sector swasta.

L. Kesimpulan

Ekonomi Islam dan konvensional adalah dua entitas yang memiliki perbedaan mendasar. Keduanya memiliki perbedaan dari nilai dasar, perangkat2-nya, regulasi hingga pada bangunan utuh sebagai sebuah system ekonomi. Namun perlu diakui bahwa pembahasan keduanya memiliki kesamaan2 pada kaidah2 ekonomi yang memang merupakan sebuah kecenderungan umum dalam aktifitas ekonomi. Namun sebaiknya persamaan itu disikapi sebagai sebuah kebenaran universal dari kebesaran Allah SWT, yang memang kebenaran tersebut merepresentasikan kecenderungan sunnatullah. Sementara itu tetap saja dalam pengembangannya, system ekonomi Islam memerlukan sebuah perancangan dan pelaksanaan yang bersifat rekonstruksi ulang dari apa yang ada saat ini. Hal ini disebabkan oleh keyakinan bahwa Islam sudah memberikan format system ekonomi begitu lengkap dalam palaksanaannya, dan juga keyakinan bahwa bangunan system Islam tak akan sempurna jika dikembangkan dengan mengadopsi nilai atau praktek diluar Islam yang kemudian membuat berkurangnya orisinalitas (kemuliaan) Islam, yang secara logika tentu saja akan membuat hasil kerja system Islam nanti tidak akan maksimal. Wallahu a’lam bishawwab.

Tabel 1

Perbedaan Ekonomi Konvensional dan Islam

No.

Issues

Islam

Konvensional

1.

Sumber

Al Qur’an

Daya Fikir Manusia

2.

Motif

Ibadah

Rasional Materialism

3.

Paradigma

Shariah*

Pasar*

4.

Pondasi Dasar

Muslim*

Manusia Ekonomi*

5.

Landasan Filosofi

Falah*

Utilitarian Individualism*

6.

Harta

Pokok Kehidupan

Asset

7.

Investasi

Bagi Hasil

Bunga

8.

Distribusi Kekayaan

Zakat, Infak, Shadaqah, Hibah/Hadiah, Wakaf & Warisan

Pajak dan Tunjangan

9.

Konsumsi – Produksi

Mashlahah, Kebutuhan & Kewajiban

Ego & Rasional

10.

Mekanisme Pasar

Bebas & Dalam Pengawasan

Bebas

11.

Pengawas Pasar

Al Hisbah

NA

12.

Fungsi Negara

Penjamin Kebutuhan Minimal & Pendidikan – Pembinaan melalui Baitul Mal

Penentu Kebijakan melalui Departemen2

13.

Bangunan Ekonomi

Bercorak Perekonomian Riil

Dikotomi Sektoral yang sejajar Ekonomi Riil dan Moneter

* Muhammad Arif, 1985.



[1] Lihat Amartya K. Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, Philosophy and Economic Theory, Edited by Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), pp. 87-109. Lihat juga F.Y Edgeworth, Mathematical Psychic: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences (London, 1881).

[2] Ibid., pp. 89 – 108.

[3] Al Qur’an, Surat Al Ashr (masa/waktu) ayat 2 dan 3.

[4] Muhammad Najatullah Siddiqi, Islamizing Economics”, Toward Islamization of Disciplines, The International Institute of Islamic Though (IIIT), Herndon, Virginia, USA (1416 H/1995 M), pp. 255.

[5] Lihat Al A’raf: 31-32 & Al Israa: 29

[6] Lihat At Taubah: 60 & 103

[7] Lihat Al Baqarah: 274-281

[8] Lihat Al Baqarah: 72 & 168, An Nisaa: 29

[9] Yusuf Qardhawi, op. cit. pp. 90-91.

[10] F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank (IDB), pp. 129-148. Lihat Money and Banking in Islam, Edited By Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and M. Fahim Khan, International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Azis University (Jeddah) and Institute of Policy Studies (Islamabad), 1983, pp. 15-16.

[11] Op.cit.pp. 259-262.

[12] Muhammad Akram Khan, ‘The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997, p. 157.

[13] Lihat Amartya Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, Philosophy and Economic Theory, Edited by Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), pp. 87-109.

[14] Lihat Muhammad Akram Khan, op. cit., pp. 158-159.

[15] Hal ini diungkapkan Umar bin Khattab ra, lihat Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, 1995.

[16] F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank (IDB), pp. 129-148.

Tidak ada komentar: